Filsafat Dalam Paradigma Ilmu Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN
1
Latar
Belakang
Filsafat telah ada di dunia selama ribuan tahun. Sejak manusia berpikir,
maka filsafat ada. Namun istilah filsafat memang baru ditemukan setelah
berabad-abad peradaban manusia berlangsung di muka bumi. Maka ketika istilah
filsafat sudah ditemukan, seiring dengan hasil-hasil pemikiran yang dikemukakan
oleh manusia, kemudian lahirlah cabang-cabang dari filsafat itu.
Berjalannya waktu, hingga saat ini telah banyak ilmu-ilmu pengetahuan
yang berkembang. Sangat banyak ilmu pengetahuan hingga mungkin tidak bisa
disebutkan satu per satu dan tidak bisa berhenti karena seiring dengan kemajuan
pola pikir manusia dan hasrat mereka dalam dunia pendidikan, maka ilmu
pengetahuan bisa jadi makin bertambah banyak.
Dunia pendidikan sudah sejak dahulu dipandang sebagai wahana yang harus
dimasuki oleh umat manusia. Baik secara formal maupun non-formal, manusia
diharuskan memiliki pengetahuan melalui sarana pendidikan. Sarana pendidikan
juga dianggap sebagai faktor seseorang mendapatkan kedudukan tertentu dalam
stratifikasi sosial di masyarakat. Bahkan dalam agama islam, umat islam
diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini, kami merumuskan beberapa masalah yang akan kami bahas,
yaitu:
- Apa pengertian paradigma?
- Apa pengertian filsafat ilmu pengetahuan?
Tujuan
Berdasarkan masalah yang kami rumuskan pada bagian rumusan masalah di
atas, maka dengan makalah ini kami bertujuan untuk:
- Mengetahui apa pengertian paradigma.
- Mengetahui apa pengertian filsafat ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Paradigma
Dalam bahasa Inggris,
paradigma disebut dengan paradigm. Sedangkan dalam bahasa Prancis disebut
paradigme. Istilah tersebut merupakan serapan dari bahasa Latin, yaitu ‘para’
dan ‘deigma’. Secara etimologis, para berarti di samping, di sebelah. Sedangkan
deigma berarti memperlihatkan, yang berarti, model, contoh. Namun dalam bentuk
kata kerja, mempunyai arti menunjukkan sesuatu. Dalam Kamus Filsafat, paradigma
diartikan sebagai cara memandang sesuatu; dalam ilmu pengetahuan artinya
menjadi model; totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan
atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret. Dan ini melekat di dalam
praktek ilmiah pada tahap tertentu; dasar untuk menyeleksi problem-problem dan
pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengertian paradigma adalah 1) Ling daftar semua bentukan
dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklanasi kata tersebut, 2)
Model dalam teori ilmu pengetahuan, 3) Kerangka berpikir atau kerangka acuan.
Dalam buku Filsafat Ilmu, Jujun S. Sumantri menyatakan bahwa paradigma adalah
cara pandang terhadap dunia yang menjadi acuan dari revolusi ilmah dan
mempunyai cara kerja terhadap revolusi ilmah itu sendiri. Secara umum,
pengertian paradigma adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang
menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Guba
yang dikutip oleh Muhammad Adib (Filsafat Ilmu, 2010), paradigma dalam ilmu
pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang
memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian maupun dalam penyelidikan
ilmiah. Jadi menurut pemakalah paradigma adalah suatu rangkaian berpikir yang
menjadi acuan dan kepercayaan yang mendasar yang menuntun seseorang dalam
bertindak.
2.
Filsafat
dalam Paradigma Ilmu Pengetahuan
- Tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Cara perkembangan ilmu pengetahuan menurut Thomas
Samuel Kuhn, dapat diringkas menjadi skema yang open-ended. Artinya sebuah
akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut.
Tahap Pra Paradigma dan Pra Science
Yudi (2010)
mengatakan bahwa pada tahap ini aktivitas-aktivitas ilmiah dilakukan secara
terpisah dan tidak terorganisir sebab tidak ada persetujuan tentang subject
matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing,
karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuwan
tentang suatu teori (fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan
mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu
ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya
sendiri-sendiri (Merymaswarita, 2009). Sehingga sejumlah teori boleh banyak
digunakan pada pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa
wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri, hal
semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu sampai suatu paradigma
tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuwan tersebut dan ketika
paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan
(Yudi, 2010).
Contoh pada fase
ini adalah adanya persaingan dari ilmuwan untuk mempertahankan teorinya
masing-masing dan mendukung teori yang lain. Seperti teori epicurus, teori
aristoteles, atau teori plato. Satu kelompok menggangap cahaya berasal dari
satu partikel-partikel yang keluar dari benda yang berwujud, bagi ilmuwan yang
lain mengatakan cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang diantara
benda itu denganmata, yang ahli lain lagi menerangkan bahwa cahaya sebagai
interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata. Karena dari
masing-masing ilmuwan tidak ada kesepakatan tentang konsep cahaya itu sendiri
maka, paradigma tentang cahaya tidak bisa disepakati oleh komunitas ilmiah,
selama belum adanya kesepakatan maka tidak akan terjadi normal sains (Kuhn,
1989).
Tahap Paradigma Normal Science
Aktivitas yang
terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu
akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada suatu paradigma tunggal yang telah
dianut oleh suatu masyarakat ilmiah, suatu paradigma yang terdiri asumsi-asumsi
teoritis yang umum dari hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya
diterima oleh para anggota komunitas ilmiah, keadaan seperti inilah yang
dikatakan dalam tahapan paradigma normal sains (Chalmers, 1983).
Para ilmuwan akan
menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha mempertanggung-jawabkan dan
menjabarkan perilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini,
sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen. Physica karya
Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Principia dan Opticks karya Newton,
Electricity karya Franklin, Chemistry karya Lavoisier dan Geology karya Lyell,
pencapaian mereka cukup baru belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat
menghindarkan kelompok penganut yang kekal dari mempersaingkan cara melakukan
kegiatan ilmia (Kuhn, 1989).
Ilmuwan yang
risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan
standar-standar praktek ilmiah yang sama. Contoh konsep yang disepakati pada
tahapan normal sains ini adalah pada abad ke-18 paradigma disajikan tentang
Optik karya Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat
halus yang diterima oleh komunitas ilmiah pada zaman tersebut(Kuhn, 1989).
Dari penjelasan di
atas bisa dikatakan pada tahap ini tidak terdapat sengketa pendapat mengenai
hal-hal fundamental di antara para ilmuwan, sehingga paradigma tunggal diterima
oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari
kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi.
Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science
(Chalmers, 1983).
Menurut muslih
(2004), normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisasi untuk
menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki keseimbangannya dengan alam
(fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun
teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan
mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penerapan status hokum Teka-teki
eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik
eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam tahap
normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian sains faktual, yaitu:
1. Menentukan fakta yang penting.
1. Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan
fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata
ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan
menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; (seringkali paradigma itu
secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu
memecahkan masalah tersebut).
3.
Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang
masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik
perhatian saja (Yudi, 2010)
Paradigma Anomali
Sains yang
normal, yakni kegiatan pemecahan masalah yang baru saja kita teliti, adalah
kegiatan yang sangat kumulatif, benar-benar berhasil dalam tujuannya, perluasan
secara tetap ruang lingkup dan persisi pengetahuan sains. Sains yang normal
tidak ditujukan kepada kebaruan-kebaruan fakta atau teori dan, jika berhasil
tidak menemukan hal-hal tersebut. Jika karakteristik sains ini akan
diselaraskan dengan apa yang telah dikatakan, maka riset yang mengikuti suatu
paradigma harus merupakan cara yang sangat efektif untuk mendorong perubahan
paradigma (Kuhn, 1989).
Jika ilmuwan
gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan
kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai
oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak
terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi
suatu paradigm (Chalmer, 1983).
Jadi bisa disimpulkan
bahwa apabila dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal jika
dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka
keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali
atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara
terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan
mendatangkan suatu krisis.
www.workingjournalistpress.com
Krisis Revolusi
Sasaran normal
science adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan
penemuan-penemuan baru yang konseptual, yang diikuti dengan munculnya
teori-teori baru. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan muncul
gejala-gejala baru yang belum terjawab oleh teori yang ada. Apabila hal-hal
baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan anomali
antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, serta anomali-anomali
tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian,
kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan
krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi) (Kuhn, 1989).
Revolusi sains
muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya
krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi
riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah
yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika
yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains (Aribah M, 2010)
Revolusi sains
merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti
sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-tentangan.
Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke
paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa
dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah
jalan bebas hambatan (Yudi, 2010).
Sebagian ilmuwan
atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru
dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada
standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan.
Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti
dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang
efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh
karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya
sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat
sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas
masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud dengan baik (
Syamsir, 2008).
Ilmu normal
Jika anomali yang
ada dalam proses perkembangan suatu ilmu telah bisa dipecahkan oleh ilmuwan
dalam komunitas ilmiah, dalam arti suatu komunitas ilmiah telah bisa mengatasi
dan menyelesaikan krisisnya dan menyusun suatu paradigma baru maka terjadilah
revolusi sains (Chalmers, 1983).
Sesudah suatu
komunitas sains mengalami revolusi dengan perputaran serupa gestalt yang
menyertainya, maka kemajuan-kemajuan penyelesaian teka-teki yang ada selama ini
bisa diselesaikan, sehingga dicapailah kembali pada tahapan normal sains yang
baru yang mempunyai keadaan baru sebab gambaran yang dihasilkan dari teki-teki
tersebut juga sudah berubah. Dalam tahapan nomal sains baru ini para komunitas
ilmiah menyusun kembali suatu paradigma baru dengan memilih nilai-nilai,
norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa, dan cara mengamati dan memahami alam
ilmiahnya dengan cara baru, sehingga cara pemecahan persoalan model lama
ditinggalkan dan menuju cara pemecahan dan pemahaman yang baru (Muslih, 2004).
Yang dimaksud Kuhn
“ilmu normal” adalah kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu
atau lebih pencapaian ilmiah (scientific achievements) dimasa lalu, yakni
pencapaian-pencapaian yang komunitas atau masyarakat ilmiah bidang tertentu
pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk praktek selanjutnya.
Kuhn mengatakan bahwa ilmu normal memiliki dua ciri esensial :
1. Pencapaian
ilmiah itu cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu dari berbagai
cara lain dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya dihadapkan pada berbagai
alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah, sebagian besar pemraktek ilmu
cenderung memilih untuk mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan
ilmiah mereka.
2. Pencapaian
itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memerlukan penyelesaian
oleh pemraktek ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu (Yudi, 2010).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa adanya dua tahap atau periode dalam setiap ilmu, yakni
periode pra-paradigmatik dan periode ilmu normal (normal science). Pada periode
pra-paradigmatik pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam bidang
tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada
perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum. Pada tahap
pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi tidak
ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Dengan terbentuknya
paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki periode ilmu
normal atau sains normal (normal science).
- Macam-macam Paradigma Ilmu Pengetahuan
Macam macam paradigma ilmu pengetahuan meliputi:
1. Paradigma kualitatif
Proses penelitian berdasarkan metodologi yang menyelidiki
fenomena sosial untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan
menggunakan metode berfikir induktif.
2. Paradigma deduksi-induksi
Penelitian deduksi (penelitian dengan
pendekatan kuantitatif). Analisis data-kesimpulan.
Penelitian induksi (pendekatan kualitatif). Pengumpulan
data-observasi-hipotesis-kesimpulan.
3. Paradigma piramida
Kerangka berfikir/model penyelidikan ilmiah yang tahapannya
menyerupai piramida. Terbagi menjadi:
- Piramida berlapis, yang menunjukkan semakin ke atas berarti tujuan semakin tercapai yaitu ditemukannya teori baru
- Paramida ganda, yang di buat berdasarkan piramida yang sudah ada
- Piramida terbalik, piramida yang di buat berdasarkan teori yang sudah ada
4. Paradigma siklus empiris
Kerangka berfikir atau model penyelidikan ilmiah berupa
siklus.
5. Paradigma rekonstruksi teori.
Model penyelidikan ilmiah yang berusaha
merancang kembali teori atau metode yang telah ada dan digunakan dalam
penelitian. Agar model rekonstruksi teori dapat diterapkan dengan baik,
pemilihan dan penguasaan teori tertentu yang dianggap relevan dengan penelitian
sangat menunjang keberhasilan teorinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan paparan
pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan induk dari ilmu
pengetahuan. Karena adanya rasa ingin tahu pada diri manusia, maka manusia
berusaha mencari tahu dan akhirnya mendapatkan pengetahuan. Selanjutnya,
bidang-bidang ilmu pengetahuan terbagi menjadi beberapa aliran yang berbeda
seperti pada saat sekarang ini.
Menurut Kuhn, Ilmu
pengetahuan berkembang dari masa ke masa dengan skema atau tahapan-tahapan yang
open-ended. Yaitu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Selain itu ada
bermacam-macam paradigma dalam ilmu pengetahuan yang terbagi menjadi lima
macam. Dengan demikian, filsafat yang mendasari adanya paradigma bagi ilmu
pengetahuan nampaknya tak bisa diabaikan begitu saja mengingat pada masa
sekarang ini berbagai ilmu pengetahuan sudah berkembang dan akan tetap
berkembang karena diawali oleh filsafat ilmu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Andriansah. 2012. Filsafat Ilmu Paradigma Kuhn. http://kelasandriansah.
wordpress.com/2012/11/27/filsafat-ilmu-paradigma-kuhn/ 5 Desember 2013.
Engladiomenhas, Hardi. 2011. Thomas S. Kuhn: Paradigma
dan Revolusi Ilmu Pengetahuan. http://www.scribd.com/doc/60432683/Makalah-Filsafat-Ilmu 4 April 2012.
Faruq, Ahmad. M. Fil.I. 2009. Filsafat Umum. Ponorogo: STAIN Po
Press
Iqbal, Muhammad. 2012. Tugas Makalah Pengantar
Filsafat Ilmu. http://akuibe.blogspot.com/2012/06/tugas-makalah-pengantar-filsafat-ilmu.html
5 Desember 2013.
Muslih, M. 2004. Filsafat
Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Belukar.
Suhartono. 2005. Filsafat
Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Tafsir,A. 1990. Filsafat
Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Ulum, Miftahul, Dr, M.Ag, dkk. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo:
STAIN Po Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar