Asal-Usul Identitas Bangsa Jepang
dan Ideologi Monoetnis
Integrasi Nasional dan Identitas
Nasional
Menurut wacana
kontemporer Jepang, Jepang mencapai "satu bangsa, satu orang".
Identitas nasionalisme terutama di kalangan negara berkembang adalah kesetaraan
politik "satu bangsa, etnis/orang" (Plessner,1959). Ernest Gellner
(1983:1) mengatakan bahwa nasionalisme merupakan teori legitimasi politik yang
mensyaratkan bahwa batas etnis seharusnya tidak memotong politik dalam keadaan
tertentu.
Menurut Hobsbawm (1990)
Alhoun (1997), ideologi dan identitas nasional menjadi kekuatan besar di negara
modern. Negara pramodern tidak mempunyai infrastruktur yang khusus untuk menanamkan
identitas nasional, karena hal tersebut dapat teratasi dengan perkembangan sistem
nasional pada pendidikan, transportasi, komunikasi, dan sebagainya. Tetapi ideologi "satu bangsa, satu negara " tidak
ada di era pramodern. Negara modern dan nasionalis menegaskan beberapa bentuk
kesetaraan antar warga negara yang hirarki statusnya tidak lagi menjadi
fundamental.
Perpecahan
Jepang era Pramodern
Menurut Hanihara (1996:199-209), leluhur
yang hidup di kepulauan Jepang datang dari seluruh daratan tetangga. Jika Hokkaido dan Okinawa sebagai bagian dari Jepang
dimasukkan, maka campuran
etnis semakin heterogen (Rearson 1996:102-107)
Masuknya orang dari luar Jepang seperti
Korea, Cina, Manchu, Mongolia, dll membuat Jepang tidak bisa disebut negara
homogen. Di dalam peninggalan karya sastra Jepang, Kojiki dan Nihon Shoki,
membuktikan adanya banyak jenis negara/ orang Emishi, Ezo, Ebisu, Kumasodan
Hayako yang ada di Honshuu dan Kyuushuu.
Penyebutan awal dari Jepang
(Nihon) terjadi pada abad ke 7 (Nishijima 1994 : 201-203) ketika Ritsuryo (kode
hukum) negara muncul dengan munculnya pertama etnis jepang sebagai awal dari
Jepang (Kitou 1975:115-119; Yasumoto 1991:23). Namun secara geografis dibatasi
oleh Daerah Kinai yang kini disebut Kantou/Toohooku, sebagai wilayah asing
(Amino 1991:202). Selain itu juga diperkenalkannya produksi baja dan alat-alat
pertanian baru serta penyebaran agama tidak dapat dilepaskan dari peran imigran
yang datang dari dari semenanjung Korea.
Historiografi Nasional telah berusaha
untuk menceritakan pertumbuhan bertahap dan tidak terputus dari Jepang, dan
orang-orang yang berpengalaman didalamnya mengenai unsur-unsur dari narasi
dalam tembikar periode Joumon, negara Ritsryoo, periode sastra Heian, atau orang-orang
dari Kyoto selama abad pertengahan. Bagaimanapun juga, peninjauan yang telah
dilakukan memungkinkan kita untuk mengenali unsur-unsur proto Jepang, mengabaikan
diskontinuitas dan perbedaan, serta mendistorsi secara sistematis pemahaman
kita tentang periode ini. Beberapa menganggap adalah hal yang sepele bahwa masa
lalu menyebabkan hadirnya jurang besar diantara keduanya. Pertimbangan dalam
hal ini merujuk pada perpecahan dari kepulauan Jepang di abad kelima belas.
Meskipun berperangnya Daimyou (tuan) menggunakan istilah modern untuk Negara
atau bangsa (kokka), hal tersebut disebut sebenarnya merujuk pada daerah lokal
mereka (Katsumata 1994:28-33 : cf. Kamada 1988:27-28).
Perbedaan status,
apalagi sangat dibatasi solidaritas sosial. Ada banyak subdivisi di antara kaum
tani (Nagahara 1990: 306-310). Status dirisialkan dan diekspresikan secara
fisik. Gaya dan warna pakaian orang mudah dipisahkan; petani memakai kuning,
sedangkan penderita kusta harus berpakaian coklat kekuningan (Amino 1993: 13-36). Gaya rambut dan topi adalah penanda penting, orang bahkan mengenakan topi
(Eboshi) saat tidur; untuk memotong rambut tanpa persetujuan individu adalah
kejahatan besar (Takahashi 1984: 323-324). Representasi visual dari kelompok
status yang berbeda sebagai tanda tersebut melalui penggunaan pigmentasi kulit
yang berbeda; sosok pucat dari bangsawan kontras dengan tubuh gelap yang
diidentikkan dengan warna pengemis (Sakurai 1981: 35-37).
Era Tokugawa (1603 – 1868)
Selama pemerintahan Tokugawa,
pengamanan dalam negeri, penyebaran antar perdagangan, kemekaran budaya urban,
dan pembatasan kontak asing memberikan kontribusi terhadap integrasi nasional (SATA 1993: 212-220). Pemerintahan militer Tokugawa membuat beberapa upaya
untuk menyelaraskan etnis dengan negara (Howell 1994: 74). Selain itu, Marius
Jansen (1992: 86) berpendapat, "Pada periode Tokugawa, Jepang pertama
kali menyadari diri mereka sebagai sebuah kesatuan nasional."
Mengingat tidak adanya
pendidikan massa dan media massa, petani dan sebagian besar penduduk tidak
mengidentifikasi diri mereka di luar desa mereka atau domain (han).
Daripada bangsa, han adalah unit istimewa dalam keberadaan rakyat.
Kebijakan Tokugawa ‘membagi dan menaklukkan‘ ditekankan pada identitas han
(Maruyama 1996: 235-237). Perluasan nasionalisme yang dicanangkan, itu
prinsipnya hanya nasionalisme han yang dikembangkan.
Meskipun para samurai
dan petani kaya merupakan basis sosial nasionalisme di akhir abad kesembilan
belas (Mitani 1997: 345-346), nasionalisme Jepang dan identitas nasional tetap
belum lengkap hingga Restorasi Meiji.
Pembuatan Negara modern
Dalam upaya untuk
mengintegrasikan bangsa, negara Meiji menghadapi kendala yang signifikan.
Identitas han tetap kuat di kalangan elite terpelajar, dan sebagian besar
penduduk memiliki sedikit kepercayaan dari program pembentukan pemerintahan
nasional yang lebih besar.
Masuknya Burakumin, Okinawa, dan Korea di pasar tenaga kerja
perkotaan sekunder meningkatkan perbedaan antara Jepang dan identitas
non-Jepang di awal abad kedua puluh. Meskipun kemajuan yang cukup besar dapat terligat, namun Integrasi
nasional dan identitas nasional terbatas pada 1945. Mayoritas masyarakat Jepang
adalah petani yang tinggal di desa-desa (Fukutake 1981: 32-38) serta pembagian
desa-kota dan perbedaan regional tetap menonjol (Miyamoto 1984a: 306, 1984b
:187-196). Konsep dominan identitas
nasional Jepang pada awal abad kedua puluh adalah multietnis, bukan monoetnis.
Nasionalisme
dan Imperialisme
Awal abad kedua puluh, pemerintahan Jepang telah sering
dijelaskan sebagai fasis atau ultranasionalis (Eguci 1993:364;. cf Gordon 1991:333-339). Mobilisasi massa dari tahun 1930-an dan wacana ultranasionalis di tahun
1940-an memuliakan kultur kaisar dan rasa nasionalis (Kokutai) .
Selama
pemerintahan Jepang, semua warga Korea, serta
Taiwan, adalah warga negara Jepang (Teikoku shinmin), dengan jaminan kesetaraan
hukum (Got 1992:151-153). Korea adalah Tenno Sekishi (bayi kaisar) atau
koku shinmin (subyek imperial) (Miyata 1994:152-153). Daripada menyebut mereka
sebagai orang Korea, istilah yang lebih disukai adalah hanto no hito
(orang-orang dari semenanjung). Menyebutkan mereka
dengan kata koloni sangat jarang terjadi
dalam mengacu kepada Korea.
Nasionalis Korea membenci tindakan Jepang, dan kebanyakan
orang Jepang dianggap Korea akan kalah, tetapi penjajahan Jepang berusaha untuk
menghomogenkan Korea dan Jepang, termasuk promosi perkawinan antaretnis antara
Korea dan Jepang (Suzuki Y. 1992:75-87).
Dominasi pandangan dunia multietnis juga dapat diperoleh di tulisan sebelum perang. Matsubara Hiroshi
(1936:130) mengamati bahwa orang Jepang adalah ras campuran. Meskipun demikian,
ide heterogenitas etnorasial dari orang-orang Jepang itu diterima secara luas
di awal abad kedua puluh.
Dasar
Ideologi monoetnis
Dominasi dari
ultranasionalisme runtuh setelah tahun 1945. Kaisar tidak lagi dewa penguasa tapi
simbol manusia dari bangsa. Sebuah bangsa militeris digantikan oleh pasifis (orang
yang cinta damai). Para tuan tanah besar dan kapitalis besar yang mendominasi
ekonomi Jepang sebelum perang hampir lenyap (Tsuru 1993:18-22).
Setelah
kehilangan pandangan dunia sebelum perang dan setelah mengalami Westernisasi
secara cepat, sebagian besar orang Jepang bingung apa sebenarnya teori Kejepangan.
Berdasarkan novel yang ditulis oleh
Ishihara Shintara pada tahun 1968 menyebutkan bahwa tidak ada negara seperti
Jepang, dimana orang-orangnya monoetnis, yang berbicara dengan bahasa yang sama
tidak seperti negara lainnya, dan memiliki budaya yang unik.
Kemudian muncullah
teori Kejepangan, dimana monoetnis merupakan ciri penting dalam Kejepangan,
dimana seperti yang dipaparkan oleh Ishida Takeshi (1973:172) yang menulis
bahwa "Jepang didefinisikan dimana semua orangnya memiliki warna rambut
dan mata yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan hidup dengan cara yang
sama."
Berdasarkan
survei tahun 1980-an, berkebalikan dengan lebih dari 70 persen orang Amerika
dan Korea Selatan dengan rela mengorbankan kepentingan pribadi untuk kebaikan
negara, hanya 16 persen dari orang Jepang yang mau melakukannya (Nishihira
1987:98).
Kenangan
Multi Etnis
Pada awal pertengahan
1950-an, kehadiran generasi pascaperang (Sengo Sedai) menjadi kehadiran
intelektual dan budaya dominan (Hidaka 1960:363-370). Pada pertengahan 1960-an,
sebagian besar warga Tokyo dan Osaka yang kehilangan setiap memori Perang Dunia
II (Takeuchi 1982:153).
Selain itu, sentralitas
Tokyo dalam imajinasi nasional amatlah penting. Sederhananya, Tokyo telah
berdiri untuk seluruh Jepang (Isoda 1978:118-126). Anggapan Tokyo-sentris
sangat penting dalam mempertahankan mitos monoetnis.
Kehadiran tak
terhindarkan dari Amerika Serikat pun tidak boleh diabaikan. Banyak pendapat
tentang perbedaan atau keunikan Jepang muncul dari membandingkan Jepang ke
Amerika Serikat. Untuk Jepang, Amerika Serikat tidak hanya negara imperialis
tetapi juga negara dengan masalah diskriminasi rasial yang serius (Oguma
1995:356). Jepang, sebaliknya, adalah sebuah negara kecil, non imperialistik,
dan karena itu tidak ada multietnis. Tidak seperti Eropa, yang cenderung
sensitif terhadap perbedaan etnonasional, Amerika melihat Jepang melalui prisma
ras hitam-putih, di mana perbedaan etnis di kalangan orang Amerika Eropa yang
dikompresi ke dalam kategori tunggal keputihan. Dari sudut pandang ini, Jepang
terkesan sebagian besar pengamat Amerika sebagai sangat homogen.
Apa yang memungkinkan
begitu banyak orang Jepang percaya bahwa mereka telah tinggal dan terus untuk
hidup dalam masyarakat monoetnis adalah benar-benar ada kelompok minoritas. Suku
Ainu, sebagaimana telah kita lihat, tidak hanya sedikit jumlahnya tapi budaya
mereka hancur oleh abad Japanization. Okinawa, di pinggiran selatan, diduduki
oleh Amerika Serikat sampai tahun 1972. Kesunyian dua kelompok ini, oleh karena
itu, tidak sulit untuk menjelaskan. Mengingat jarak geografis dan isolasi,
mereka hanya goresan di benak kebanyakan orang Jepang. Tapi bagaimana dengan
dua kelompok besar? Korea, Jepang, dan, Burakumin; Mengapa tidak mereka lihat dan
dengar?
Pertama, kedua kelompok
diisolasi secara sosial. Pada periode pasca perang banyak Burakumin dan Jepang
Korea tetap terpisah . Selain itu, diskriminasi kerja meminimalkan peluang bagi
Burakumin dan Korea untuk bekerja bersama Jepang. Oleh karena itu, sebagian
besar orang Jepang, khususnya di Tokyo, tidak mungkin untuk menghadapi kelompok
besar Burakumin atau Korea Jepang.
Kedua,
ideologi monoetnis dibenarkan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah tidak
mengakui lingkungan Burakumin di Tokyo, misalnya (Yagi 1984:175) meskipun
kehadiran mereka signifikan (lih. Honda 1990).
Ketiga, asimilasi, atau
Japanization, menggantikan mobilisasi etnis. Mengingat fakta diskriminasi,
individu Burakumin dan Korea Jepang berusaha untuk melebur ke dalam masyarakat utama.
Kesimpulan
Mitos menegenai kemonoetnisan Jepang
merupakan konstruksi fundamental pasca perang dunia II. Penulisan sejarah dan
imajinasi kaum nasionalis ‘memaksakan ‘ suatu pandangan bahwa Jepang telah
bersifat monoetnis dari awal sampai sekarang. Pada mitos kontemporer tersebut,
hanya pekerja imigran yang berasal dari Asia pada akhir tahun 1980 lah yang
disebut-sebut merupakan ancaman serius yang pertama terhadap multietnitas pada
sejarah Jepang. Kenyataannya adalah bahwa negara Jepamg selalu multietnis.
Sumber : Lie, John. 2001. Multiethnic Japan. London: Harvard University Press