PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN BANYUWANGI,
JAWA TIMUR
Indonesia
adalah negara dengan jumlah penduduk sekitar 245.462.952 jiwa (Statistik
penduduk Indonesia oleh BPS pada tahun 2012), menempatkannya sebagai negara
dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Dari jumlah tersebut, menurut
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional pada tahun 2012, 2,45% (atau kurang lebih
5.915.597 jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas.
Meskipun terdapat fakta seperti itu, di Indonesia, masih banyak kita jumpai
sikap diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas, baik dari aspek
sosial, infrastruktur, hukum, tenaga kerja, dan berbagai aspek lainnya walaupun
Indonesia telah meratifikasi dan menandatangani Konvensi Tentang Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (Convention
on the Rights of Persons with Disabilities) pada tangal 30 Maret 2007 di New
York, Amerika Serikat. Pada tahun 1986, diterbikan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang
mengawali implementasi pendidikan inklusi pada sektor pendidikan bagi
penyandang disabilitas di Indonesia. Namun nyatanya, para penyandang
disabilitas masih sulit mendapatkan akses pendidikan yang layak, sampai saat
ini.
Dahulu istilah cacat, anak tuna,
anak berkelainan, anak menyimpang sering kali digunakan untuk menyebut orang
dengan fisik atau mental yang berbeda, namun dengan seiring berjalannya waktu,
kata-kata tersebut kini lebih diperhalus menjadi difabel atau ABK. Difabel
merupakan kependekan dari difference
ability, yang dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kebutuhan berbeda
dari orang pada umumnya. Selain kata difabel biasanya masyarakat sering
menyebut ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yang merupakan terjemahan dari child with special needs. Jika kita
membicarakan mengenai disabilitas maka ada banyak variasi dan derajat kelainan
yang secara garis besar dibagi menjadi tiga kategori yakni disabilitas fisik,
mental-intelektual dan mental-emosional. Contoh disabilitas fisik seperti,
tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. Disabilitas
mental-intelektual diantaranya tunagrahita, retardaksi, ADHD, down syndrome dll. Sedangkan disabilitas
mental-emosional meliputi autism, gifted, PDD-NOS, Asperger syndrome (AS), tunalaras dll.
Para penyandang disabilitas
seringkali dianggap rendah, hal itulah yang kemudian menimbulkan adanya
diskriminasi yang terjadi di kalangan disabilitas. Diskriminasi yang terjadi
meliputi, celaan, pengucilan, pelecehan seksual, hingga pada kasus kekerasan yang
berujung pada kematian. Adanya diskriminasi tentunya merupakan sebuah akibat
dari ketidaktahuan masyarakat mengenai difabel serta hak-hak mereka yang
seharusnya kita perhatikan. Untuk itu perlu adanya suatu sistem yang membuat para
difabel dan masyarakat umum dapat saling memahami serta menghargai hak-hak
kedua belah pihak, suatu sistem yang dapat mengajari untuk saling menyesuaikan
diri dan menerima satu sama lain dengan tanpa adanya jurang pemisah.
Pendidikan inklusi
adalah salah satu cara untuk mengurangi perbedaan antara kaum difabel dengan
masyarakat umum. Inklusi juga menjadi langkah awal guna menghapuskan adanya
diskriminasi pada kaum difabel. Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995)
mendefinisikan, inklusi merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang
mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah
terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Dari pendapat
Sapon-Shevin di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusif
mengedepankan kebutuhan siswa, yakni kurikulum, metode pengajaran serta
kemampuan guru pembimbing yang disesuaikan dengan siswa berkebutuhan.
Pengembangan pendidikan inklusi,
kini telah berhasil diwujudkan oleh kabupaten Banyuwangi, provinsi Jawa Timur. Di
kabupaten ini, para orang tua yang memiliki anak difabel tidak lagi bingung
mencari sekolah yang mau menerima anak mereka. Karena, saat ini sebanyak 122
sekolah di Banyuwangi telah menjadi lembaga pendidikan inklusif. Terdiri dari
29 sekolah PAUD, 44 SD/MI, 26 SMP/MTs, 23 SMA/MA. Sekolah-sekolah tersebut juga
dilengkapi dengan guru pembimbing khusus dan sarana prasarana yang aksesibel
bagi ABK. Selain lembaga pendidikan yang inklusif bagi difabel, kabupaten
Banyuwangi juga mencetuskan program “beasiswa Banyuwangi Cerdas”, yang mana
program ini secara khusus mengalokasikan anggaran sebesar Rp 300 juta pertahun,
sebagai beasiswa bagi difabel yang memenuhi syarat untuk menempuh pendidikan
tinggi. Beasiswa ini meliputi biaya pendidikan dan biaya hidup selama menempuh
pendidikan.
Pendidikan adalah hak bagi setiap manusia, begitupun juga
bagi para penyandang disabilitas. Mereka berhak menerima pendidikan yang sama,
mengembangkat bakat serta minat mereka dengan tanpa adanya diskriminasi dari
lingkungan sosial. Jika adanya diskriminasi merupakan akibat dari ketidaktahuan
masyarakat mengenai disabilitas, maka pendidikan inklusi menjadi solusi ampuh
untuk memberantas diskriminasi terhadap difabel. Adanya pendidikan inklusi akan
membuat para difabel dan masyarakat umum dapat saling memahami dan menghargai
hak-hak keduanya. Pendidikan inklusi akan membuat difabel terbiasa
besosialisasi dengan masyarakat umum, sehingga mereka tidak lagi menjadi sosok
yang terasingkan di dalam masyarakat. Selain itu, semangat membangun kota yang
inklusif dan bebas diskriminasi yang tercermin dari kabupaten Banyuwangi seharusnya
juga dicontoh oleh seluruh pemegang kebijakan di negeri ini. Karena
bagaimanapun juga pemimpin adalah contoh bagi masyarakatnya. Dapat dibayangkan
betapa hebatnya negeri ini di masa depan, apabila pemimpinya mengedepankan
pendidikan bagi masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, Endis. 24
Januari 2010. Pendidikan Inklusif dan
Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Universitas Indonesia.
Kementrian Kesehatan
RI. 2014. Situasi Penyandang Disabilitas.
Buletin Semester II, 2014. ISSN 2088 – 207X
Purwanto, Heri.
Tanpa Tahun. Hakikat Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus Unit 1-6.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Right Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas)
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
UNICEF. 2013. Keadaan Anak di Dunia – Anak Penyandang
Disabilitas. Jurnal Ilmiah UNICEF PBB.